There is no branch of Muslim intellectual life, of Muslim religious and political life, and of the daily life of the average Muslim that remained untouched by the all-pervasive attitude toward “knowledge” as something of supreme value for Muslim being. Ilm is Islam, even if the theologians have been hesitant to accept the technical correctness of this equation. (Tidak ada cabang dalam kehidupan intelektual Muslim, kehidupan beragama dan politik dan kehidupan sehari-hari kebanyakan Muslim yang tersisa tanpa tersentuh sikap meresap seluruhnya terhadap “ilmu pengetahuan” sebagai suatu nilai tertinggi bagi seorang Muslim. Ilmu adalah Islam, meskipun teolog ragu-ragu untuk menyetujui kebenaran teknis dari persamaan ini.) ~Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant
Kesimpulan Franz Rosenthal diatas tak jauh berbeda dengan apa yang ditulis Wan Daud dalam bukunya “Budaya Ilmu: Suatu Penjelasan”. Budaya ilmu terjadi manakala setiap lapisan masyarakat melibatkan dirinya baik secara langsung maupun tidak pada kegiatan keilmuan dan tindakan individu maupun masyarakat dilaksanakan melalui kajian dan musyawarah berdasarkan ilmu pengetahuan. Budaya ilmu dalam peradaban Islam ini dapat kita lihat salah satunya dari adanya Baitul Hikmah yang mempunyai koleksi buku hingga satu juta kopi.

Franz Rosenthal, Penulis Knowledge Triumphant
Franz Rosenthal selain menyadari banyaknya kata dalam al-Qur’an mengenai ini juga mengumpulkan definisi dari ulama-ulama abad pertengahan Islam dan membaginya ke dalam tiga kelompok yaitu menurut teolog, sufi dan filosof. Salah satu definisnya adalah, “Knowledge is that through which the knower knows the object known.” [Quoted as al-Asharî’s definition]
Ilmu dengan kata lain adalah pengetahuan akan sesuatu sebagai mana adanya. Ilmu disini merupakan penghubung antara subjek yang ingin mengetahui dan objek yang ingin diketahui. Pembahasan mengenai bagaimana kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan kita benar dibahas dalam epistemologi.