Kekacauan yang menimpa kurikulum pendidikan modern di negara-negara Islam hari ini berkaitan dengan kehilangannya dalam porsi yang besar visi berjenjang pengetahuan seperti yang dapat ditemukan dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Di dalam tradisi intelektual Islam, disana ada hierarki (tingkatan) dan hubungan antar berbagai cabang ilmu pengetahuan yang memungkinkan realisasi kesatuan dalam keanekaragaman, tidak hanya dalam wilayah kepercayaan agama dan pengalaman beragama akan tetapi juga di bidang pengetahuan. Penemuan keteraturan dan hubungan yang tepat antara berbagai bidang ilmu pengetahuan merupakan tujuan utama gambaran intelektual Islam, dari teolog sampai filosof, dari Sufi hingga sejarawan, banyak dari mereka mengabdikan sebagian besar energi intelektual untuk bidang klasifikasi (pengelompokkan) ilmu pengetahuan. ~Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science

Osman Bakar, Penulis Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science
Islam mengajarkan bahwa kebenaran adalah apa-apa yang datang dari Tuhan (al haqqu mirabbik) sehingga semua pengetahuan dan ilmu merupakan manifestasi dari keesaan Allah (tawhid). Pembagian ilmu agama dan ilmu dunia hanya pada objek kajian sedangkan seorang ilmuwan muslim tidak boleh melepaskan keimanan akan keesaan Allah dalam kajiannya terhadap alam semesta. Pencarian akan hukum-hukum alam meskipun menggunakan metodologi naturalis (mencari penyebab alamiah akan fenomena fisik) harus selalu dikaitkan dengan kekuasaan Allah. Inilah yang membedakan kita dengan penganut positivisme logis yang mencari sebab fisik hanya terbatas pada materi yang dapat diukur (materialisme). Imam al-Ghazali dan Abul Hasan al-Asy’ari menyebutkan bahwa tiap atom dan hubungan antar tiap atom di alam semesta ini didalamnya terdapat campur tangan Allah.
The intellectual tradition in Islam has addressed four basic topics: God, the cosmos, the human soul, and interpersonal relationships. The first three are foundational constituents of reality as we perceive it, and the fourth applies the insights gained from studying the first three to the realm of human activity. One can of course read about all these topics in the authoritative sources of transmitted knowledge, such as the Qur’an and the Hadith, but knowing them for oneself is another matter altogether. For the intellectual tradition, transmitted knowledge plays the role of pointers toward an understanding that must be actualized and realized by the seeker.
~William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul
Islam selain mengakui ilmu yang berasal dari indra dan akal (rasional dan empiris) juga menggunakan khabar shadiq (informasi yang benar) yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Ketiganya (akal, indra dan khabar) tidak perlu dipertentangkan karena berasal dari sumber yang sama. Perbedaan ketiganya dimungkinkan dalam metodologi yang dipakai dengan tambahan intuisi yang sering dipakai oleh kaum sufi. Pengetahuan mengenai alam semesta dipelajari dalam fisika, jiwa manusia dipelajari baik melalui ilmu metafisis dan hubungan interpersonal/muamalah dapat dipelajari dalam sosiologi. Salah satu kajian yang menyangkut mengenai masalah ini ditulis oleh Akbar S. Ahmed telah menulis mengenai Toward Islamic Anthropology.