Ketika kita berbincang mengenai ilmu pengetahuan (science) maka yang terlintas adalah tuntutan untuk bersikap kritis, skeptis dan metodologis karena science dibangun dari fakta atau bukti yang membentuk hukum (law) melalui apa yang disebut metode ilmiah. Berlainan dengan hal itu, agama menuntut keyakinan dari pemeluk-pemeluknya untuk menerima doktrin-doktrin ajarannya. Nah terkadang kita menganggap dua hal ini tidak dapat dipertemukan dan memisahkannya. Padahal sebenarnya ini adalah akibat sekulerisme yang ada di dunia Barat.

Syed Muhammad Naquib al-Attas
Peradaban Islam yang menguasai ilmu pengetahuan selama 700 tahun tidak merasakan adanya pertentangan berarti antara keduanya seperti yang terjadi di dunia Barat ketika zaman kegelapan (Dark Ages). Seorang yang beriman dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mempunyai pemahaman mendalam mengenai keduanya dapat hidup tenang dengan ilmu pengetahuan. Ini dibuktikan peradaban Islam begitu banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Haytham (peletak dasar metode ilmiah melalui eksperimen), Ibn Sina (ahli kedokteran yang bukunya dipakai di universitas Barat selama beberapa abad), Ibn Khaldun (Bapak Sosiologi dan Filsafat Sejarah yang diakui keilmuannya oleh Arnold Toynbee) dll. Namun kini kita merasakan pertentangan yang dalam dan usaha-usaha memisahkannya seperti terbitnya buku-buku provokatif yang mempertangkan agama dengan sains seperti The God Delusions nya Richard Dawkins. Hal ini memunculkan dua ide mengenai gerakan menghubungkan kembali agama dengan ilmu pengetahuan Islam yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan dan pengilmuan Islam.
Untuk memahami isu sekulerisme dalam dunia Islam dapat dilihat pada buku karya al-Attas yang berjudul Islam and Secularism.